Mengenal Bunda Mala, Penegak Hukum yang Aslinya Bekerja Serabutan

Oleh : Agus Setyadi

TIDAK berseragam dan tidak berlencana. Begitulah penampilan wanita yang bertugas sebagai penegak hukum ini. Dalam menangani perkara, ia hanya memakai kain sarung dan pakaian biasa layaknya perempuan desa. Tapi jika sedang menangani kasus, ia bertindak bak polisi.

IMG_20140701_164223

Bunda Mala

Perempuan berusia 45 tahun ini tidak menangani perkara berat layaknya polisi. Ia hanya menyelesaikan kasus-kasus kecil yang terjadi di desa atau tingkat kemukiman (perangkat di bawah kecamatan). Semua perkara yang ditanganinya, diselesaikan melalui peradilan adat.

Dialah Nurmalawati. Perempuan asal Masjid Ulim Tunong, Kecamatan Ulim, Pidie Jaya, ini sudah menjadi “polisi” peradilan adat sejak 2010 silam. Di Aceh, peradilan adat sudah ada sejak ratusan tahun silam. Namun, keberadaan peradilan adat tenggelam ketika Aceh dikungkung konflik berkepanjangan.

Peradilan adat ini menyelesaikan pelbagai masalah yang timbul di tengah masyarakat. Para pengadil adalah mereka yang duduk di Tuha Peut, sebuah lembaga yang terdiri atas orang yang dituakan di kampung. Bunda Mala, begitu Nurmalawati biasa dipanggil, duduk di lembaga tersebut.

Laksana polisi atau hakim, ia sudah makan asam-garamnya dalam menangani kasus perselisihan adat. Atas keuletannya itu pula, Bunda Mala acap menerima teror dari orang yang tak puas dengan putusannya.

Dalam menangani perkara, ibu tujuh anak tersebut punya cara tersendiri. Ia tidak langsung mempertemukan pihak yang berkasus, tapi terlebih dulu menemui salah satu pihak yang menurutnya sulit diajak bicara. Setelah mendapat keterangan dari satu pihak, baru kemudian menemui pihak lainnya.

“Saya membaca karakter orang yang berkasus dulu sebelum menyelesaikannya. Kalau orangnya keras, kita harus lembut, jika dia lembut, kita harus lebih lembut lagi,” kata Bunda Mala, yang suaminya meninggal dalam konflik Aceh pada 2004 lalu, saat ditemui awal bulan ini.

Bunda Mala berlagak bak intelijen kala menangani perkara. Tindakannya tak terendus pihak lain, termasuk kepala desa, sehingga ia bebas bergerak. Setelah semua informasi berada di genggamannya, Bunda Mala mengajak yang berselisih berdamai. Jika sudah sepakat, perdamaian akan dilakukan di meunasah atau masjid. Di sini, kedua belah pihak berjabat tangan, saling memaafkan.

Perkara yang ditanganinya pun tak jauh beda dari aparat penegak hukum. Mulai kasus pencurian kecil, sengketa tanah, hingga kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pernah diselesaikan Bunda Mala.

Pada 2010, Bunda Mala dipilih menjadi anggota majelis adat di tingkat kecamatan. Tugas pertamanya adalah menyelesaikan kasus dugaan perselingkuhan, yang hampir saja meruntuhkan sebuah rumah tangga. Ceritanya, seorang istri mendengar kabar angin bahwa suaminya berselingkuh.

Setelah beberapa kali mendengar kabar itu, sang istri percaya: suaminya punya wanita idaman lain. Singkat cerita, si istri mendatangi kantor suaminya di pagi buta atau menyambangi rumah perempuan yang diduga selingkuhan suaminya. Hasilnya nihil. Keluarga ini pun cek-cok dan menjadi tak harmonis.

Bunda Mala yang mendengar kasus ini, turun tangan. Ia mengecek kebenaran isu ini ke perempuan yang dituduh selingkuhan pria tersebut. Ia juga menyelidiki sang istri.
“Ternyata ia mendapat informasi dari pemuda kampung yang iseng-iseng memberi informasi,” jelas perempuan yang sehari-hari bekerja sebagai tani atau buruh cuci.

Setelah mendapat informasi tentang identitas pemuda yang menjadi biang kerok, ia kemudian mendatangi pemuda tersebut. “Setelah saya selidiki, pemuda itu akhirnya mengaku memberi informasi itu karena sudah ditanya setiap hari, karena tidak tau maka dijawab asal-asal. Pemuda itu saya nasehati dan saat ini rumah tangga tersebut sudah akur kembali,” ungkapnya.

***

PERADILAN adat telah ada sejak masa kerajaan. Namun, sudah lama hukum adat vakum di Aceh. Hal ini tak terlepas dari konflik yang menguasai Aceh dalam lebih tiga dekade lalu. Baru setelah Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka menandatangani Pakta Perdamaian pada 2005 lalu, peradilan adat mulai dijalankan kembali. Ketentuan ini dituangkan dalam Qanun No 9/2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat.

Menurut Qanun itu, ada 18 jenis sengketa di masyarakat yang bisa diselesaikan melalui proses peradilan adat ini, antara lain: perselisihan dalam rumah tangga; perselisihan antarwarga; perselisihan tentang hak milik; pencurian ringan; penganiayaan ringan; pelecehan, fitnah, hasut, dan pencemaran nama baik, dan lainnya.

Bukan itu saja, beberapa waktu lalu, Pemerintah Aceh bahkan telah punya Surat Keputusan Bersama (SKB) antara Gubernur Aceh, Kapolda, dan Ketua MAA tentang Penyelenggaraan Peradilan Adat Gampong dan Mukim. Meskipun demikian, tidak semua desa di Aceh sudah memberlakukan peradilan adat dalam menyelesaikan setiap kasus-kasus kecil yang terjadi di tengah-tengah warga.

Perangkat adat dalam menangani suatu perkara untuk tingkat desa terdiri dari keuchik, sebagai ketua; sekretaris gampong, sebagai panitera; imeum meunasah, sebagai anggota; tuha peuet, sebagai anggota; dan ulama, tokoh adat/cendikiawan lainnya di gampong yang bersangkutan (ahli di bidangnya), selain Tuha Peuet Gampong sesuai dengan kebutuhan.

Sanksi bagi pelanggar adat bermacam-macam. Mulai dinasehati, minta maaf di depan umum, dikucilkan, hingga diusir dari kampung. Sedangkan dimandikan dengan air kotor, ditenggelamkan ke sungai, dikeroyok/dianiaya, dan dicambuk bukan sanksi adat.

***
BUNDA Mala mengaku tidak mendapatkan pendidikan khusus dalam menyelesaikan setiap perkara di tingkat desa atau mukim. Taktik yang ia gunakan hanya berdasarkan pengalaman yang diajarkan orang tuanya. Maklum, orang tua Nurmalawati pernah menjabat kepala desa tempatnya tinggal hingga meninggal. Selama menjabat, orang tuanya pernah menyelesaikan semua perkara desa tanpa campur tangan aparat penegak hukum.

“Hanya dari pengalaman, tidak ada sekolah seperti penyidik atau intel polisi,” jelasnya setengah bercanda.

Dalam menangani setiap perkara, biasanya pihak yang terlibat mendatangi dirinya untuk melapor. Setelah mendapat informasi, baru kemudian ia melakukan penyelidikan hingga akhirnya dibawa ke meunasah untuk perdamaian. “Kadang ada juga kasus yang tidak sampai dibawa ke meunasah sudah selesai seperti perselihan antarwarga,” ungkapnya.

Pernah suatu ketika sebelum Bunda Mala menjabat, tuha peut gampong menangani sebuah perkara utang piutang di meunasah. “Bukan selesai masalah di sana tapi tambah besar, karena ribut lagi sampai di meunasah,” kata Nurmalawati.

Saat menangani suatu perkara, Bunda Mala tidak membuat berita acara pemeriksaan (seperti yang dilakukan polisi. Alasannya, jika dalam penyelidikan ia membawa alat tulis untuk mencatat detail kasus, warga langsung menganggapnya intelijen. “Tidak bisa seperti itu, makanya saya lebih memilih cara-cara kekeluargaan,” ungkapnya.

Selama menyelesaikan kasus, pengalaman paling membekas dalam ingatan Bunda Mala yaitu menangkap pencuri yang masuk ke rumahnya. Ia berupaya menangkap sendiri pencuri. Sampai-sampai, Bunda Mala membuat jebakan, namun berhasil lolos. Pencuri itu berhasil ditangkap di desa lain. Ia lantas diadili di meunasah.

Bunda Mala memilih tidak hadir di meunasah saat pengadilan. “Saya berada di belakang orang yang mengambil keputusan,” ujarnya. Walhasil, pengadilan adat memutuskan pencuri tersebut bersalah dan diusir dari kampung.

Dalam bekerja, Bunda Mala tak melibatkan aparat penegak hukum semisal polisi atau jaksa. Ia bekerja seorang diri, mulai dari penyidikan hingga kasus tuntas. “Hingga kini belum ada perkara yang harus diselesaikan oleh polisi,” katanya. []

Tinggalkan komentar